Selasa, 06 Januari 2015

Artikel Penggemar Tenis Meja


Dulu mencari ‘Musuh’ ke Mana Saja, sekarang berlabuh di PTM Garuda Perdagangan Bojong Gede, Bogor. (edit dari artikel di Republika)
 
Kisah ini diceritakan hasil editing dari tulisan lama di harian Republika. Pemain tenis meja memang unik. Apalagi yang sudah menjadikan tenis meja hobi yang sangat berat. Kelihatannya tiada hari tanpa tenis meja. Semakin banyak jam berlatih dan bertanding, maka akan semakin “kecanduan” terhadap bola kecil yang ditepok-tepok pakai bet. Tidak muda tidak tua hampir semuanya yang menyukai tenis meja pasti senang mencari musuh kemana-mana. PTM Garuda Perdagangan salah satu Klub yang baru berdiri sekitar satu tahun sudah menjadi ajang saling “unjuk kebolehan” antar jago-jago tenis meja dari berbagai daerah, Depok, Cibinong, Citayam, Bojong Gede, Cilebut, Parung, Bogor bahkan dari Jakarta.
Kegiatan latihan dan kompetisi diantara mereka ada sejumlah rupiah untuk iuran tertentu tapi tidak selalu terpenuhi. Pasalnya, tidak setiap orang bersedia membayarnya (karena latar belakang ekonomi dan pekerjaannya).

Berawal dari sebuah permainan yang bersifat rekreasi, ping pong atau tenis meja menjadi olahraga serius yang turut dilombakan di ajang Olimpiade, Asean Games, Sea Games (bahkan ada berbagai jenis medali, dari Beregu dan perorangan; single, double, dan mix). Peminatnya pun tak sebatas pada para atlet tenis meja, tetapi merambah juga hingga ke klub atau perkumpulan nonformal di masyarakat.

Sejarah tenis meja sendiri berawal di Inggris. Situs pongworld menyebutkan bahwa ping pong dimulai sebagai hobi sosial di Inggris yang mencuat akhir 1800-an. Meja makan dan bola yang terbuat dari gabus menjadi perangkat pertama yang digunakan. Boleh jadi mereka menyebut permainan itu sebagai gossima, flim-flam, atau ping pong.

Ketika abad berganti, permainan itu pun mengalami sejumlah perubahan di Inggris. Belakangan, ada yang memperkenalkan bola seluloid pada permainan itu, sedangkan yang lain menambahkan karet pada bet yang terbuat dari kayu. Namun, belakangan seperti dilansir situs geocities.com, olahraga ini juga populer di Amerika Serikat (AS) sekitar 1900-an.

Sayang, permainan ini mulai kehilangan popularitas. Tapi secara bersamaan muncul satu gerakan simultan yang dimulai dari sejumlah kawasan di dunia berupaya menghidupkan kembali ping pong sebagai olahraga serius pada 1922. Hasilnya, terbentuklah Federasi Tenis Meja Internasional (ITTF) yang terdiri atas 140 negara anggota pada 1926. ITTF juga menjadi sponsor individu dan tim yang bermain di kejuaraan dunia yang diselenggarakan dua tahun sekali.

Olahraga ini pun segera menyebar ke Jepang dan negara Asia lain. Jepang pun mendominasi olahraga tersebut pada 1950-1960-an. Namun, Cina langsung mengejar ketertinggalan. Sekitar 1960-an dan 1970-an, Cina menguasai sendiri tenis meja. Tapi, setelah tenis meja menjadi cabang olahraga yang dilombakan di Olimpiade pada 1980-an, negara lain seperti Swedia dan Korea Selatan turut masuk dalam jajaran papan atas dunia.

Di Indonesia, gaung olahraga ini pun cukup kuat. Ini tampak dari geliat para pecinta tenis meja. Rudi Eko Purwanto (Pemain PTM Garuda Perdagangan, Bojong Gede, Bogor) hanyalah satu dari banyak orang yang ”menggilai” tenis meja. Rudi memang punya permainan unik. Betnya kecil, sering dibuat sendiri atau beli tapi direnovasi sendiri sesuai ukuran dan kepantasan dan kenyamanannya. Katanya:”biar kalau nyepin bisa ‘seser’. Kadang ada jurus “bangaunya” /mukul dari sisi kiri tapi dengan karet sisi kanan/forehand. Teman-temannya menamakan itu jurus bangau, yang dia ciptakan sendiri. Tidak ada dalam ‘pakem’ latihan tenis meja. Pak Rudi banyak menang dengan pemain lainnya yang belum mengenal permainannya. Kalau main tidak suka pemanasan, sukanya langsung hitungan. Katanya nanti juga panas sendiri kalau sudah main. Kegemaranya ‘ngisik-ngisik betnya’ mungkin sudah puluhan bet yang diciptakan bahkan ada yang seperti kipas saking tipisnya.

Beranjak dari kegemaran itulah, ia memperoleh banyak kenalan. Biasanya, tiap Sabtu atau Minggu dipergunakan ayah dua anak ini untuk bermain. ”Saya memang rutin bermain ping pong. Bila tidak, pasti ada saja yang kurang. Bahkan jika ada undangan, saya akan memilih ping pong dulu, baru nanti siang saya akan memenuhi undangan itu,” katanya sambil tertawa.

Boleh jadi ini lantaran kegemaran pada ping pong telah dipupuknya sejak masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ketika tugas kuliah nyaris selesai pada 1987, saban sore ia mengaku menghabiskan waktu di meja ping pong.

Kegemaran itu pun berlanjut hingga kini. ”Saya selalu mencari ‘musuh’ ke mana saja,” ujarnya menyebut istilah lawan tanding. Pria yang tinggal di Bojonggede, Bogor, ini bahkan sempat merambah hingga ke kawasan Kota, Ciputat, dan Ragunan untuk mencari ‘musuh’ itu.

Saat ini ia memiliki perkumpulan sendiri (PTM Garuda Perdagangan). Anggotanya pun datang dari berbagai kawasan seperti Depok dan Jabotabek. Diperkirakan, jumlahnya sekitar 20 orang.
Mereka juga tidak mematok sejumlah rupiah untuk iuran. Pasalnya, tidak setiap orang bersedia membayarnya, karena latar belakang pekerjaannya. ”Biasanya, setiap bulan memberi iuran sekitar Rp 10 ribu pada pengurus Klub” ujarnya.

Selain bermain dengan sesama anggota, tak jarang ia pun bermain dengan klub tenis meja. Rudi sering berkumpul dengan sesama hobiis tenis meja. ”Walau bukan anggota klub dan tidak membayar iuran bulanan, saya bisa diterima main bersama mereka,” ujarnya.

Informasi pertandingan pun diperoleh dari mulut ke mulut sesama pemain. Satu klub yang juga sempat dikenalnya adalah klub Juanda. Salah satu pelatih klub ini adalah Jaja Jahari (Pemain PTM Garuda Perdagangan, Bojong Gede, Bogor).
Menurut karyawan Departemen Luar Negeri RI tersebut, klub Juanda berdiri pada 30 September 2002. Berdirinya klub ini pun tidak disengaja. Jaja mengaku berkenalan dengan orang yang biasa berlatih ping pong di stasiun Juanda. Berawal dari perkenalan itu, ia pun rajin berlatih di sana setiap pulang kantor.
Tepat 17 Agustus 2000, mereka mengadakan turnamen kendati belum membentuk klub yang formal. Meski begitu, ini tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap menyebar undangan ke klub-klub lain.


Dari ajang itulah, jaringan mereka berkembang. Frekuensi latihan pun makin sering dilakukan. Akhirnya, timbul pemikiran untuk membentuk klub yang akhirnya berdiri pada 2002. Jaja sendiri ditunjuk sebagai pelatih klub.

Saat ini anggota klub Juanda tercatat sekitar 60 orang. Namun, yang terbilang aktif mengikuti berbagai kegiatan hanya sekitar 30 hingga 40 orang. Mereka pun berdatangan dari berbagai kawasan seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang.

Untuk menjadi anggota klub, tiap orang dikenakan uang pendaftaran sebesar Rp 15 ribu. Sementara setiap bulan mereka akan ditarik iuran sekitar Rp 10 ribu. Selain itu, anggota juga diminta menyumbang bola untuk keperluan bersama.
Biasanya, para anggota mengetahui keberadaan klub Juanda dari mulut ke mulut. Bahkan, tak jarang ada juga anggota yang merupakan para penumpang KRL yang kerap melintasi stasiun Juanda. Untuk berlatih, mereka biasa melakukan di hari Rabu dan Jumat setelah jam kerja kantor usai, yaitu sekitar pukul 16.30 hingga pukul 20.00.

Saat ini Jaja menilai minat pada olahraga tenis meja cukup baik. Sebagian besar berumur 20 tahun ke atas. Di klubnya, ada beberapa orang anggota yang duduk di bangku SMU. Namun, sebagian besar memang masih didominasi oleh anggota yang telah berumur.

Jaja menilai yang terbaik adalah remaja yang berusia kurang dari 15 tahun. ”Mereka ini yang ideal untuk dibina. Tapi, yang berumur lebih dari itu bisa saja dibina tapi butuh waktu lama,” ujarnya.
Setelah resmi terbentuk, klub Juanda pun kerap menghadiri undangan turnamen. Bahkan, dalam sejumlah turnamen, mereka mampu menyabet tempat teratas. Jalinan dengan klub lain pun tak kalah erat. Lantaran itulah tak jarang ada anggota klub Juanda yang berasal dari klub tenis meja yang lain.

Untuk pengembangan klub, Jaja menilai ini masih agak sulit. Karena menangani satu klub di Juanda saja sudah membutuhkan perhatian tersendiri.

Tapi, untuk urusan teknik bertenis meja, Jaja menyebutkan pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan sponsor. Rencananya, mereka akan mengambil pelatih profesional.
Dengan adanya klub barunya di PTM Garuda Perdagangan, Rudi dan Jaja semakin dekat rumahnya. Kalau dulu harus naik KA Jabodetabek. Sekarang cukup dengan sepeda motor paling hanya sekitar 10-20 menit sudah sampai tempat latihan. Tempat latihannya bisa sabtu pagi, malam minggu atau minggu pagi sampai sore. Kelihatannya mereka menikmati permainan dan tempat barunya.
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=145553&kat_id=149&kat_id1=&kat_id2=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar